Wednesday, January 16, 2008

Hakikat

ada kalanya pertanyaan pertanyaan demi pertanyaan bertubi-tubi menghantam logika menyebabkan tiada aksi bahkan tak

kalah seringnya reaksi sebagai bentuk perlawanan ataupun sekedar respon terhadap semuanya. jangankan bicara mengelak

sedang pemikiran itu tidak pernah eksis dalam keadaan seperti ini.

di saat yang lain, ada kalanya kebisuan sampai kepada tahap maksimal. berkesan serupa seperti di atas, tiada aksi dan

reaksi ,... responpun tidak.

bersinonim kah kedua keadaan di atas ?!

fantasi dan ilusi sudah tidak dapat dibedakan
doa dan harapan hanya dipandang sebagai suatu bentuk masuk ke toilet tanpa membedakan air yang dibuang 'besar' atau

'kecil'
asa, harapan, cita-cita dan keinginan bak mengutip rasa air dari percampuran di muara antara tawar dan asinnya

laut... di mana sangat disadari yang payau bukan pilihan, sama sekali bukan.

apa yang dibicarakan adalah kebisuan
apa yang didiamkan adalah teriakan
apa yang diam adalah berlari
apa yang berlari adalah ketidaktahuan tujuan
apa yang dituju adalah pertanyaan
pertanyaan akan ketidaktahuan pertanyaan dan jawaban sekaligus

petunjuk adalah setetes air laut di neraka
dahaga tiada tara adalah pengetahuan akan tidak hilangnya ia oleh jenis dan jumlah air itu...
tapi menyentuh adalah nafsu

nafsu adalah kegelapan dari semua kegelapan yang tergelap
nafsu adalah keengganan tersentuh oleh seminimal bias cahaya

kambing hitam juga adalah nafsu
ironisnya, serban putihpun bisa berinisial serupa

sungguh tiada pengetahuan... ntahkan lagi makrifat
yang semu pun tidak dapat dipastikan .. apalagi hakikat

aku tak ingin 'ber-aku'
tapi ketika 'ber-aku' muncul cermin aku yang tau ia hanya bayangan

tak ingin dalam keinginan
berkeinginan dalam tak ingin

apa hakikat pasrah dan bagaimana ianya bertaraf hakikat ?

sungguh panjang perjalanan, bagaimana tidak ianya tak berpenghujung
sungguh pendek dan singkat ketersediaan waktu ... takut tidak sampai .. sungguh takut tidak akan sampai..

Thursday, January 03, 2008

...............

Gunung dan Air

Sebuah kontemplasi tanpa zikir

Beberapa hari kebelakangan ini ku selalu membuka jendela setelah sekian lama merelakan pandangan dibatasi (difilter) oleh kaca reben hitam jendela. Selalunya ku berucap ‘cari udara segar’ supaya masuk ke kamar ini yang untuk sekian lama juga sesak dengan kepengapan… baik aroma menyengat yang sedap di dihirup hidung maupun sebaliknya…. Pertimbangannya adalah sikap hati-hati sebab anakku begitu kuat ‘ke-penasarannya’ akan sesuatu yang belum membolehkannya menimbang nilai bahaya sebelum pengetahuan –yang selalu berada di posisi kedua- ‘menyapanya’ …. Tentunya gambaran global pertimbangan di atas adalah ini timbangannya.

Soal pandangan…., tak semesatinya –memang- kaca reben tersebut menjadi penghalang munculnya penilaian keindahan sesuatu dalam diri, sebab semuanya masih terlihat walaupun ketika sedang mendung atau hujan deras menerpa. Namun nafsu untuk mendapatkan ‘yang lebih’ selalunya berwajah ketidak-puasan, rasa kurang, tak sesuai dan tak bias diterima serta penolakan total. Hujung-hujungnya…., jendela itupun ku buka. Tentunya tidak seperti dulu waktu bujangan, dari lantai 10 pun buka jendela lebar-lebar… baik duduk di tepinya ataupun meninggalkannya dalam keadaan terbuka sebegitu, ku cuek karena tak ada yang dikhawatirkan… mereka kawan-kawanku, lebih indahnya mereka sudah dewasa bukan kanak-kanak –walau sering kekanak-kenakan-. Tentunya dalam hal ini mereka mesti memaksakan diri untuk dewasa. Mereka bukan anakku yang hanya sebatas mengetahui bentuk fisik timbangan… tak lebih ! ok, lebih… ia tau itu untuk menimbanga, ukurannya ?! belum tau.

Jadi ketika memandang tanpa batasan kaca reben itu, hakekatnya seluas dan sejauh apapun yang dapat kita raih dari memandang… hakekatnya ia tetap terbatas dengan di belakang yang tak teraih darinya. Jika ini dinafikan maka kekanak-kanakanlah identitasnya. Ku lihat deretan bangunan dengan garis horizontal dan vertical, ku Nampak susunan mobil dan kereta di depan bangungan-bangunan, ada burung-burung terbang, beberapa pokok dan sekilas pemandangan hutan, terpampang gugusan bukit yang lumayan tinggi, menara-menara listrik dan telekomunikasi, tiang-tiang, antenna-antena, pamplet iklan dan papan nama-nama toko, huruf dan angka, aspal di bawah roda dan roda di atasnya, lubang dan tutupnya, aliran selokan, bahkan sinar adalah yang paling nyata…sebab warna-warni semakin kontras.

Bukit di sana…. Begitu gagah –jika tidak ingin dinamai sombong- adalah wujud suatu keindahan. Yang berubah dari balik kaca reben ke yang tanpanya ini adalah –seperti disebut di atas- kontrasnya saja. Indahnya ya tetap indah.

Tiba-tiba terjadi satu peralihan dari pandangan mata ke pandangan logika,…,…., ringkasnya dari non-abstrak ke abstrak. Penyertaan keduanya sudah sejak awal menjalin kerjasama, sisi dominan saja yang menentukan pada suatu waktu, tempat dan kondisi ia dinamai (diwakilkan) dengan salah satunya.

Lingkaran penglihatanku dari jendela ini, adalah realisasi sebuah proyek, menyulap sekian-sekian hitungan luas area yang kemungkinan dulunya adalah bentuk yang mirip dengan gunung itu. Abrakadabra… sungguh nyata bedanya sekarang. ‘Abrakdabra’ karena bagiku ia adalah semula jadinya seperti itu dinisbatkan dengan waktu kehadiraku di sini.

Keindahan….

ya indah, sebuah kota kecil dengan latar gunung yang sangat nampak alami. Kondisi dan situasinya bak ilustrasi penulisan ataupun visualisasi karya seni berbagai corak.

Ya indah, ciptaan Tuhan !

Ya indah, karena kita melihatnya.

Aku lupa –ataupun tak sengaja- mengatakan sebelum ini bahwa tong sampah, kertas, plastic, dedaunan kering…juga perbendaharaan –dan bagian- pemandanganku. Adakah mempengaruhi ? Keindahan yang pastinya bernilai plus…, dengan eksistensi minus ini adakah hitungan matematika 2-1 = 1 bahkan 1-0=0 ?! ntahlah… cukup banyak tahun tak pernah ku sentuh matematika dalam kerangka diktat/mata pelajaran. Yang ku tau apapun bentuk suatu perhitungan adalah kompleks walaupun berwajahkan kesederhanaan. Akhirnya kesederhanaan ia juga kompleksitas dan sebaliknya. Akhirnya aku pusing, pusing untuk ini – pusing untuk itu, pusing tidak untuk ini-pusing tidak untuk itu. Akhirnya… mana ada akhirnya. Telah terbentuk lingkaran, dimulai dari titik awal yang kembali bertemu dengannya. Adakah awal dan akhir itu eksis? Makanya aku sebut abstrak.

Kesempurnaan iasalah lingkaran, keyakinan absolute…jangan coba menggoyahkannya. Mungkin hidup tidaklah ‘sen-ngeri’ ini. Tuntutan memanglah mencapainya, di samping kesadaran akan proses… label kita sebagai manusia adalah penawar maupun kambing hitam sebutan lain dari alas an. Apapuun, dalam perjalanan tidak hanya lingkaran satu-satunya bentuk yang bias diciptakan, garis lurus, bengkok, zizzag tetap bentuk ralita. Sungguhpun sama sekali tidak akan pernah menafikan absolutnya kesempurnaan lingkaran. Masalahku adalah –bukan membatasi- begitu mendominasi teori lingkaran tersebut menilai nilai-nilai kehidupan sementaraTitik –juga lingakran- berorientasi ke unsure-unsur mistis perjalananku.

Penilaian dan gambaran serta pendangan yang abstrak tidaklah cukup kaya di lihat dari sisi ia tidak memiliki jaminan bagi subjek kepada objek jenis ini. Kenapa jaminan perlu? Sebab ia adalah fitrah di samping amaran keras dari Tuhan tentang keburukan prasangka benih kepada rentetan keburukan setelahnya. Satu lagi sebab, ke-manusiaan artinya nilai zahir dominan atas bathin, yang bathin disesuaikan dengan si zahir penilaiannya. Contoh, niat adalah bathin, pergerakan sholat dari takbir hingga salam adalah zahir. Niat saja tanpa terjadi pergerakan adalah nihil, pergerakan yang zahir itu tanpa niat juga tidak sempurna…sebagian ulama bahkan berpendapat sama nihilnya dengan keadaan niat yang sudah disebutkan. Pendek kata, tak kiralah seberapa indah abstraksi nilai sesuatu tanpa adanya jaminan mendukung kebenarannya adalah fatamorgana yang terkadang biasa juga diartikan sebuah penipuan. Nampak ada air tapi tidak sama sekali sebenarnya.

Aku masih berdiri dan memandang ke sana tanpa kaca reben memfilter. Kali ini ku fokuskan kepada gunung yang masih berpohon/berhutan itu, adakah ia akan kekal begitu dalam hitungan tahun-tahun ke depan? Kata ‘masih’ adalah perwakilan ketidakpastian. Tak berlebihan juga topik ini ku angkat…sebab dalam hitungan singkat keberadaan ku di sini… setiap kali melewati salah satu persimpangan jalan raya di negeri ini gunung itu selalu berubah bentuk, bocel sikit, bertambah kerukannya, sampai –kali terakhir- hutan pohon karet yang semula terlindung menjadi fenomena bentuk bumi baru bagi setiap orang dari posisi ini. Dan jika respon yang ku terima adalah skeptis coba berikan kata pasti kepadaku akan jaminan secara terperinci. Aku –pada titik ini- benar-benar digoda oleh satu ultimatum non-eksistensi jaminan akan apapun terhadap apapun. Kambing hitam atau putih tidak memperngaruhi jika yang dimaksud adalah merubahnya. Sebab kandungan makna benar dan salah tak lain benrtuk rupa realita yang telah, sekarang dan akan datang kehidupan kita.

Sekilas aku hanya bercerita tentang kompleksitas, padahal sebenarnya masih cukup sederhana. Kata ‘masih’ di sini –pula- adalah perwakilan non-kontradiktif akan nilai yang ada dalam diriku. Kenapa sederhana? Di mana letak kesederhanannya? Panjang jawabannya, saking panjangnya ku berani katakana kertas-kertas pada buku tulis ini tidak mencukupi sebagai wadah. Berpaling kepada yang pendek enggankan yang panjang…jawabannya adalah ia tidak sederhana. Tak ada kontradiksi kan ?

Aku sering mwakilkan sesuatu, dan perwakilannya kali ini adalah pandangan beriring penilaian sesuatu. Orang hidup dan mayat, laut dan makhluk-mahkluk di dalamnya. Paling tidak itulah jenis pandanganku ke gunung itu sekarang. Ringkasnya, itu gunung…kalau mau dilanjutkan…, ada pohonnya, tinggi…tak setinggi gunning ini-itu, detailnya…menyebabkan banyak hal ku perlukan, ilmu geografi, biologi, tasawuf, matematika, fisika untuk menguraikan unsur-unsur kandungannya… dan itupun tidak akan pernah segampang membalikkan telapak tangan ! terlebih –atau terparah- jika menafikan salah satu kriteria bahkan identitas terjadi… maka pupus dan sirna nilai-nilai. Runtuh realita yang telah ada. Harapan? Bukanlah bentuk pertanyaan, berpatah balik ? tak selalu berparas kesempatan.

Syukurnya aku tidak mengarah ke situ pandanganku ke gunung itu. Ya.. masih fokus padanya aku memandang. Seandainya ku tanya pihak berkuasa baik untuk meminta/memberikan jaminan kekekalannya atau tidak ku rasa ia akan tertawa disebabkan tak pasti ia tau, dan tidak menjadi tugas setiap orang untuk tau, sebab pertanggungjawabanya adalah berperan bijak per-individu yang diharapkan terkoneksi kepada jaringan kebijaksanaan kolektif. Akkhirnya masing-masing merasakan manfaat bergantung kepada kadar masing-masing pula. Jangan pula berharap dapat lebih..terlebih tamak karena dengannya bisa tercampak dari jaringan.

Begitu –juga- lah gunung itu seandainya diratakan atau dirubah oleh sesuatu proyek atau bencana, Ku rasa lumrah jika masing-masing mengharapkan imbas terbaik baginya dari apapun itu…tak waras soalnya kalau meminta yang tak baik. Mungkin jika gunung itu tidak ada dan seandainya banjir aku terimbas…itu yang ku takutkan sebab keadaan ini tdak peduli aku masih bujang atau tidak sangat mengancam, sehingga tak peduli mereka kawan-kawanku ataupun anak-anakku jendela ini ku tutup kembali… tidak hanya kaca rebennya, horden/tirai/langsirnya pun ku tarik menutupi. Sungguh tertutup… tak ku Nampak lagi apa yang sebelum ini dapat diraih cakupan penglihatan mataku walau difilter kaca reben. Menafikan ini realitasku ? ku tak bisa… yang sanggup ku buat adalah menoleh dengan menggeser sedikit dan sementara horden/tirai/langsir tersebut.. jadilah untuk beberapa saat gunung itu ku kagumi lagi.

Sebagai biasnya, bila anakku teringin melihat keluar walau di belakang kaca reben…kakinya tak ku lepas dari menggenggamnya, ku peluk pinggangnya sembari perlahan kasi tau tentang ukuran timbangan.

Aku masih berdiri di sini, belum beranjak setapak pun. Hanya keredupan cahaya yang melintasi selah-selah kaca reben dan horden dengan dinding sebagai penerang. Gunung? Tak ku lihat dan memang ku telah tak mau melihat.

aku heran.., bukan terkadang tapi sering termangu dan tenggelam dalam gelombang pertanyaan.. persamaan dengan benda apakah sebagai dominasi terunggul yang kerap menang dalam diriku? Sulit untuk menjawabnya, sebab kita ada 2 mata

yang malangnya tak sebanding dengan nilai dua belah sisi coin. Rasanya jarang -tanpa mengurangi kemungkinan kemustahilannya- coin hanya berhias hanya satu sisinya... terlebih disebabkan hiasan itu jua penentu nilai, makanya -mungkin- 'illat ia mesti terdiri dari dua sisi dengan nilai yg tunggal. coin 10 sen adalah tetap sebegitu sisi manapun yang kita pandang.

Jika dipertanyakan apa hubungannya topik ini dengan gunung di atas.. adalah pepatah pernah bertandang di beranda pengetahuan.. bahwa sikit demi sedkit lama-lama menjadi bukit. Bukit.., beda tipis saja dengan gunung.. hanya kita yang menentukan ketika melihatnya...menamakannya gunung ataupun bukit. Dari sudut lain coin tidak mustahil menjadi starting point untuk kepemilikan sebuah gunung.. sebab serendah apapun nilai coin dari rentetan mata uang yang ada... jumlah segini segitunya adalah termasuk nilai coin di situ. 1 juta bisa saja terdiri secara fisik dari coin 1 sen.. walau hal yang aneh tapi diakui oleh kewarasan kita itu tidak mustahil, secara kandungan nilai .. ya namanya uang deretan nya coin tercantum di dalamnya...

Berceloteh tentang sesuatu yang menurut kita adalah terbaik maupun sebaliknya.... tidak terbaik ataupun tidak berceloteh sama sekali.. bukan lah selalu menjadi gelandang pertandingan sebuah sepakbola. Pemain saling menggebu mencetak kemenangan.. dengan tindakan riil mereka di lapangan, penonton pula dengan teriakan supportif, doa dan harapan .. maupun cerca maki di bangku stadion ataupun sofa serta tikar bahkan kursi di warung kopi. Tanpa menggunakan ungkapan sebenarnya bola sudah berbicara, sepatu-sepatu pemain saling adu jotos kebisuan... dan dengan adanya ungkapan belum tentu yang terjalin adalah hakikat dan realita yang sebenar. Jadi sama ada wujud atau tidak wujud, bukan di situ permasalahannya... sebab jika arif tidak ada yang perlu dipermasalahkan. pertandingan ada sebab kita manusia yang mencari hiburan dalam mengisi usia, keingingan menang ada sebab kita manusia, tak mau kalah sebab manusia, ataupun kita sedang berjudi sehingga sangat bergantung kepada hasil semuanya. Di sini 'yang runyam' itu bermula... duduk tapi berdiri... baring tapi berlari..diam tapi berbicara... berbicara tapi tak ada makna... sungguh-sungguh semberawut tak karuan dan amburadul alias tidak menentu bin manusia.

sayangnya manusia itu boleh saja menjadi apapun dan berkeinginan untuk apapun walau tidak semestinya terkabul dan didukung oleh pembenaran... disitulah ketidak sempurnaan manusia padahal di saat serupa ia mengakui sebagai khalifah di muka bumi ini. Bayangkan kesombongan yang boleh diproduksi oleh mahkluk bergelar si manusia ini. Tong kosong nyaring bunyinya...Diam itu hikmah...mulutmu adalah harimaumu..., adalah sebagian dari hasil terbaik yang sudah sangat pudar catnya di zaman sekarang ini. Bak bangunan tua yang lebih mengundang rasa seram berbanding spontanitas kekaguman terhadapnya.. karena unik bentuk dan rupa ataupun nilai otentik dan kepolosan karya dengan kaca mata kekinian, alih -alih ingin memanjangkan cerita ..justru keseraman yang semakin menegakkan bulu roma.. syukur2 tak terputus cabut dari kulit macam landak di salah satu iklan tv cable yang selalu ku tonton di mesir dulu.

dulu, waktu aku masih kecil sering ku jamah coklatnya sungai kebanggan warga kampungku itu untuk memuaskan kebinatangan masa kanak-kanakku bersama kawan-kawan... mandi, berenang, memancing, mengejar rakit batang pisang, naik sampan, makan-makan, tasyakuran bot baru, mencari barai di lumpurnya pantai muara sungai tersebut...

sekarang jika aku menghampirinya ... sungguh jauh perbedaan yg terlihat di mata, sekilas sayu perasaan gemuruh dada bila hasrat menarik waktu yang telah lewat ..kembali, namun aku sadari jikapun terwujud belum tentu aku mau memuaskan dengan cara serupa seperti dulu itu... bahkan yang nyata sekali terlihat adalah nilai-nilai kesilafan mengatas namakan semua itu 'memuaskan'. Niat mandi untuk bersih justru sebetulnya menggantikan kotoran lain di tubuh -jika tidak ingin dikatakan menambah-.

aku adalah air..itulah keinginganku, di mana rakit bukanlah sama sekali keinginan ku. Herannya, berenang bukan lah favoritku. Anak-anakku yang suka... adakah dilepaskan begitu saja o itu mencari naas namanya. Harapan 'merakitkan' mereka ntah-ntah malah 'membatukan'.. tentunya tak termasuk perbendaharaan harapan orang tua anaknya menjadi batu. Unsur keinginan inipun bukannya bebas dan lepas begitu saja... ianya tetap bersandar kepada simpul dan ikatan yang cukup ketat. waktu (detik, menit, jam), masa (hari, minggu, bulan, tahun, windu, abad, era), situasi dan kondisi (diri; dalam dan luar, lingkungan; berkatian dan tidaknya, pilihan; dengan konsekwensinya). Singkat kata yang terbahagia bagiku untuk menjalaninya adalah dengan berkeinginan menjadi air. Rakit bisa saja ku buat dan ku rajut tapi jika detailnya adalah bentuk pertanyaan yang ku hadapi.. maka seperti bola di atas.. tanpa ungkapan ianya telah bertutur.

petoeah'08

030108 12:05

LOHTTC

Wednesday, January 02, 2008

Istiqomah

Begitu sulit untuk menggambarkan sebuah ke-stabilan bermakna istiqomah. Sebab ibarat permata, begitu banyak modal material dan non-material yang mesti dimiliki sebelumnya.

Tekad tiada lain adalah sebuah keinginan. Hasrat, asa, cita-cita dan harapan tidak melebihi koridor doa sebagai eksistensinya...itupun bukan dia yang hakiki, sebab istiqomah harus dimulai bersamaan. Dan dengan -kata lain sebuah kepasrahan mutlak diri (Islam)-. Dan jika istiqomah sebagai pertengahan proses menuju tujuan hakikat belum lagi menajdi kepimilikan, maka tiada beda dis ini... doa masih sebatas ucapan lidah dan logika. Terkungkung di batok kepala... -sekali lagi- tidak lebih dari itu !.

Bahkan, mengenai proses perjalanan -sebagaimana gambarannya sedikit di atas- awal dan akhir tujuan adalah lingkaran sempurna. Artinya, tiada suatu kemanjaan untuk menilai tahap-tahap proses tersebut. Itulah perjalanan.... di segala waktu, tuang dan kondisi ia boleh saja berpredikat 'negatif' dan 'positif'', sekaligus keduanya bahkan jauh di bawah dan di atas semuanya itu.

Singkatnya perjalanan adalah samudera segalanya... bahasa diam dan gerak sebagai perwakilannya... Namun untuk urusan hakikat kepasrahanpun mesti tahap hakiki.

'06 13:15
Hay 10, Bawwabah II & III