Monday, May 26, 2008

Lembu

Si A punya lembu yang dengan tali diikatkannya ke hidung itu lembu, perjalanan si lembu adalah bergantung kepada kontrol si A
si B lembunya kebalikan dari keadaan si A punya tiada tali tiada kontrol bebas lepas merdeka kecuali kepemilikannya tetapla punya si B
si C pula mengontrol karena tidak cukup baginya hanya status kepemilikan tapi juga memberikan kebebasan dengan tidak mengikatkan tali di hidung lembu melainkan memagari lokasi area kebebasan lembu.

kesalahan dan kekhilafan adakah sinonim ?
menurutku tidak.. tapi biarla diketepikan dahulu sebab bukan ini inti keinginanku sekarang.
Pada apapun dan dalam apapun serta bagaimanapun manusia adalah tidak memliki sedikitpun kuasa untuk memastikan nilai untuk, terhadap, bagi dirinya ataupun orang lain sebagai pemenuhan 'maslahat' (kalau tidak ingin disebut keuntungan) diri, kolega, kesukaannya.... maupun yang kesemuanya ini milik orang lain, begitu juga sebagai nilai ...biar sekerdil apapun. Kesan pesimistis diperingkat awal ini bukanlah tanpa alasan... tak lain tak bukan sebab dinamika segala bentuk 'kemanusiaan' kita yang memaksa ianya mesti diungkapkan seperti ini. Hari senin si A rajin senyum, selasa suka melawak menterbahak-bahakkan pendengar, rabu ia sangat ramah dan ringan tangan menolong siapapun dan binatang, kamis rajin menasehati dengan lemah lembut, jumat sudah sejak awal berada di mesjid sebab ia menjadi khatib kali ini, sabtu menyerapah anjing yang memporak-poandakan tong sampahnya, minggu masak untuk sahur puasa senin keesokan hari....
sesempurna apapun seseorang di mata kita tetaplah tak menutup kemungkinan ia ada kenegatifan dalam 'kemanusiannya'. sebab tiada yg ma'sum (tiada dosa) selain Bagian Rasulullah S.a.w. begitu terang sebetulnya pengetahuan ini ada di kepala kita... tetapi sebenderang apapun sinar matahari tetap saja kita bisa terhindar dari sengatan teriknya secara langsung dengan berbagai cara.. disengaja ataupun tidak.
Aku bukan orang yang berpegang kepada sebarang kepastian akan sesuatu ataupun sesiapa... terkecuali nilai absolut hakikat yang tak lain adalah titik dibawah ba, rahasia waw diantara kaf dan nun, lautan yang tiada bertepi, rahasia segala rahasia. gambaran ini yang aku sering katakan sederhana ataupun simple.. walau bukan berarti kesadaran yang eksis adalah makna kesederhanaan .. sungguh salah jika terburu-buru mengatakan itu... ia begitu di luar batas 'kemanusiaan' kita.. makanya sering kita wakilkan dengan 'ke-maha-an', sakral dan suci.
Aku juga bukan orang yang seperti hantu berjalan tidak memijak bumi (kalaupun benar-la memang hantu berjalan begitu... aku nukil dari pengetahuan semu tetang hantu yang memang sudah terlanjur menjadi perbendaharaan di kepala). BUmi adalah jalanku.. moga-moga tujuan tak salah dan mencapainya.

Kembali kepada sinonim tidaknya kesalahan dan kekhilafan, yang menurut rasaku tidak... adalah dalam apapun ia bisa saja terjadi tanpa memperdulikan nilai kesinoniman dan tidaknya. Jangan pula tidak mengakui.. sebab (meminjam salah satu artikel di syariahonline.com) beda Iblis dengan Adam adalah di pengakuan akan suatu perbuatan tanpa mempertikaikan ianya sebuah kesalahan ataupun kekhilafan. Pendek kata alasan hanyalah bentuk mengibliskan kemanusiaan kita. Dan tentunya muqaddimah-muqaddimah untuk kelayakan sesuatu bernilai kesalahan, dan konsekwensinya setelah terjadi tetaplah harus di ambil kira. itu makanya kita perlu mengimani hari akhirat yang salah satu unsurnya adalah perhitungan dan penerimaan konsekwensi-konsekwensi. Adam tidak pernah mengibliskan dirinya, apapun kesalahan adalah bertaubat prioritas utama sikap yang mesti dibumikan dilanjutkan dengan pertangungjawaban. Iblis tidak pernah terima nilai kebenaran selain di, dari dan kepada dirinya alih-alih mengedepankan logika logika mencerna nilai-nilai, sikap spontanitas adalah mempertanyakan status bahkan di hadapan kebenaran absolutpun ia enggan menundukkan kepala. Otak ni sebetulnya tak ada guna bila masih sebatas kiasan isi kepala... memang ia ada manfaat dengan kepastian tempatnya yang dikepala itu, tapi kapan dan bagaimana ?
Sikap adam di atas sebetulnya jawabannya... dan sekaligus sebagai pembeda antara punya otak dan tidak punya otak. pertanyaan yang sering dilontarkan orang adalah bukan punya tidaknya kepala.. kepala itu ada kalau tidak ada bukan manusia lagi namanya tapi mayat buntung.. ada tidaknya otakla yang menjadi tumpuan nilai. Adam adalah yang punya otak,.. makanya tidak ada alasan melainkan kebijaksanaan-kebijaksanaan...
ironisnya, ketika manusia mengibliskan dirinya tidakla serta merta -sebetulnya- ia tidak punya otak... melainkan nilai-nilai pengecualian dari nilai-nilai lainnya. Mungkin lupa... mungkin khilaf... sekali lagi terbongkar -menurutku- ketidak sinoniman kesalahan dan kekhilafan, dalam arti ada perbedaan antar keduanya.

Sederhana sebetulnya nilai di dunia ini yang berkelanjutan dengan di akhirat kelak.
benar - salah
selamat tidak selamat

alangkah jelas gambaran simbolik antara Adam dan Iblis.
tapi apakah sederhana ketika anda menilai ? saya menilai ? dia dan mereka menilai ?
tidakkah akan lebih kompleks ketika anda dinilai ? saya dinilai ? dia dan mereka dinilai ?
keberpihakan benar dan salah belum lagi masuk kancah... bagaimana kalau sudah ?

coba sekarang tentukan nilai itu adalah sederhana atau tidak ?

sekali lagi ku katakan, bahwa aku bukanlah orag yang mengetepikan aplikasi-aplikasi kesederhanaan dan kompleksitas di dalam hidupku (paling tidak di otak kepalaku). tidak pula aku suka bersembunyi... sebab sembunyi itu apa.. tak lain adalah tabungan penipuan-penipuan yang mengamalkan sistem riba.. semakin menggunung dan dan menjulang tinggi...

Aku suka dengan muqaddimah-muqaddimah dan konsekwensi-konsekwensi, sebab tanpanya aku tidak hidup.
aku tidak suka basa basi sebagaimana aku tidak memakan nasi basi.
aku tidak akan makan daging babi karena haram.. tapi kulitnya tidak haram bagi pendapatku. mungkin berbeda dengan anda ?! ataupun sekedar mempertanyakan ?
Nah...bagimana kesederhanaan dan kompleksitas bermain dalam hal ini? lebih jelasnya, permainan seperti apa yang mesti dipertontonkan oleh kedua nilai tersebut... ? pertanyaan sesimple inipun tidak membenarkan kita berhenti hanya sebatas di sini... tujuan dan si tertuju pertanyaan ikut andil dan berperan aktif ... apa di dalam diri, di luar diri.. bagi saya, kamu, dia dan mereka ...
sebab kembali kepada 'benar - salah' ujung-ujungnya adalah 'selamat - tidak selamat'.

kehidupan adalah kesederhanaan
dari tiada ke ada dan dikembalikan kepada Yang Meniadakan dan Mengadakan tadi.
kehidupan adalah kompleksitas
semuanya dikalkulasikan, waktu dan ruang serta nilai-nilai, lingkaran syaitan dan cahaya Ilahi, Firaun dan Musa, Musa dan Khidir

kehidupan adalah berjalan,
bukan berlari...
apalagi melarikan diri !

ketika keingkaran tertinggi disyahadatkan... balasannya adalah pertanyaan yang tak lain dan tak bukan sebetulnya adalah ultimatum.. coba cari dan hidup di bumi yang bukan Aku Penciptannya kata Tuhan.
Dalam konteks ini lah -ku rasa- Ibn Araby -sempat difahami sebagian orang terutama yang tidak setuju dengannya- mengatakan bahwa iblis lebih baik dari firaun.bukan dalam arti selamat atau tidak, tetapi subtansi nilai-nilai yang tercipta dari sikap keduanya ketika menghadapi situasi-situasi yang digambarkan oleh ayat-ayat di dalam Al-Quran. Bukan sama sekali pembelaan terhadap keduanya terlebih-lebih menanggung pertanggung jawaban terhadap perbuatan bukan miliknya itu.

Begitu banyak perumpamaan-perumpamaan di Al-Quran diambil dari animal kingdom; lembu, monyet, keledai yang lebih condong ke arah negatif seagai subtansinya... unta adalah kebalikan, golongan ini disebut mamalia. ada pula Lalat, lebah, semut yang subtanasinya adalah positif. Serta -tentunya- paling banyak adalah golongan binatang yang satu ini... disebut manusia, mengenai subtansinya berimbang dalam arti punya kecondongan kedua-duanya baik posisitif maupun negatif.

di dalam setiap perumpamaan pada level inti kandungan maknanya tak lepas dari untaian makna-makna akan simbolik adam dan iblis, mungkin lebih bervariasi saja..., jalur cerita kondisional..., tokoh-tokoh dan binatang-binatangnya pun bernama beda..., tetapi tetap pada inti yang serupa, bagaimana tidak sebab pementasan seluruh drama kehidupan ini adalah di pentas yang satu. Protes ?? ya silahkan cari pentas lain, sebagaimana yang Tuhan telah ultimatumkan ....

Saturday, May 24, 2008

Nilai

aku setuju dengan kandungan secara umum ungkapan-ungkapan terakhir di film yang lebih terdorong dari awal sampai ke penghujung menontonnya dengan inisial 'film tentang orang gila.."

kiasan akan cahaya-putih dan gelap-hitam, sama-sama memiliki potensi dan penghujung sebuah nilai yang tidak seperti lazimnya ia berlaku... pada tingkat biasa (kebiasaan) memang memenuhi kriteria normal, yakni putih adalah keselamatan dan gelap adalah kesesatan. Tetapi nilai terbalik yang diselintik di sini cukup irrelevan juga bila disebabkan hanya secuil pengecualian ini ...ingin menominasikannya sebagai jawara atas nilai-nilai yang lain.

bila ku tilik ke dalam kontek religius, bahwa tauhid-esa satu hal dan syirik-sekutu -juga- satu hal. dan keduanya adalah nilai akhir dari setiap proses (awal- akhir 'semu') dan bukan temporalnya suatu keadaan sehingga nisbat sesuatu bersandarkannya menjadi absolut kebenaran, tidak.. sama sekali tidak begitu. karena fasilitas yang kita pakai tak lain adalah apa adanya sebuah fasilitas... di setiap celah dan detik kesadaran yang muncul padanya adalah juga fasilitas demi menjalani proses yang bermuara kepada kedua nilai di atas. meng-esakan kah... menyekutukan kah ?

ironis atau tidak, artinya disadari atau tidak tak akan pernah sampai kepada pengetahuan kita secara pasti bahwa absolut ia berinisial taudih atau syirik. oleh sebab itulah kokoh pondasi ketergantungan kita akan hakikat yang jelas tidak akan pernah menerima persekutuan.

kontek humanis adalah sebaliknya... ditinjau dari segi hubungan satu dengan lain, hampir-hampir diwajibkan terjadinya persekutuan dengan landasan tentunya... dan landasan itu adalah kebenaran nilai-nilai. dan ternyata... begitu luas cakupannya, tidak terbatas pada norma-norma agama.. melainkan seluruh yang menghimpun sebab musabab kita disebut manusia waras sebagai pertimbangan... neracanya.