Thursday, February 16, 2006

pantang

pantang, adalah sebuah kata yang cukup 'berarti' saat sekarang, di mana sebelum ini orientasi makna darinya hanya terkutat kepada sebuah larangan atau perintah untuk tidak melakukan subtansinya (sesuai dengan situasi dan kondisi tuntutan). Tapi 'ke-artian' sangat mencukupi ini, sebenarnya lebih difokuskan kepada interpretasi 'lingkungan' (paling tidak yang terdekat) yang cenderung lebih bermakna pengucilan dan pengerdilan perempuan dalam perannya.

tidak boleh ini, jangan yang itu...
yang begini tidak boleh kalau lagi dalam pantang...
....
dan sederetan jumlah kalimat -lebih sesuai disebut- pemahaman; kultural, sakral bahkan sekedar imaginasi, dan lain-lainnya dalam lingkaran interpretasi 'pantang' tersebut.

secara syariat, pantang yang sudah terlanjur menjadi istilah kultural kita adalah implementasi hukum-hukum nifas. Pastinya dengan aturan dan batasan-batasan 'yang boleh' dan 'tidak boleh' sebagai perintah Allah, artinya pula ini merupakan sebuah yang sakral, sebab konsekwensinya berkaitan dengan pahala dan balasan... singkatnya patuh dan tidak patuh.

Jadi, ada kaitan bahkan -dalam beberapa sisi- pertalian sangat erat diantara 'pandangan' syariat (sebagai asas/orisinalitas hukum) dan implementasi kultural yang dikemas dalam istilah 'pantang'.

Namun yang disayangkan, -sebagaimana biasanya dalam hal lainpun- wawasan interpretasi tersebut terlalu 'men-cakrawala'. artinya melewati batas logis yang bisa diterima sebagaimana kemakluman kita akan hukum-hukum nifas seperti disinggung di atas. Memang tidak semestinya yang logis menjadi takaran penerimaan untuk dimaklumi dalam topik ini, sebab terlalu naif jika syariat mesti bersandar di pangkuan logika... sebaliknya lah yang hakiki.. dan jika terdapat 'benturan' sikap 'bijak' sebagai bunga dari pohon keimanan mesti ditempuh...contoh hukum waris, talak, hijab dan lain-lain.

Dari segi kultur budaya dan historikal, hal logis ini lebih condong mesti disesuaikan dengan kaedah-kaedah saintifik untuk membenarkannya maupun tidak. Hanya itu caranya, sebab bagaimanapun semua yang ada di masa lampau tidak lain adalah perbendaharaan wawasan manusia.. dan pastinya bertujuan kepada kebaikan. Tepat sebagaimana tujuan syariat -walau pastinya lebih luas cakupannya- yaitu rahmatan lil 'alamin.

Apapun ceritanya, keindahan demi keindahan yang mengalir tiada henti adalah ujian terhadap sensitifas hati, pikiran dan perasaan berorientasi kepada sebuah pertanyaan 'cukup mensyukuri kah kita ini ?'

0 Comments:

Post a Comment

<< Home